Sejarah
singkat lahirnya Gerakan Pramuka Indonesia
Lahirnya Gerakan Pramuka berawal dari
keinginan seorang pahlawan Inggris,
Robert Stephenson Smyth Baden Powell yang tergerak hatinya untuk
memperbaiki dan mendidik para remaja bangsa Inggris yang sering melakukan
tindakan kriminal, mabuk-mabukan, berjudi, vandalisme dan berpoya-poya, akibat
adanya revolusi industri yang terjadi pada abad XIX dan awal abad XX.[1]
Untuk melaksanakan niatnya, selama lebih
kurang tiga tahun ia mulai banyak memberikan perhatian terhadap bagaimana cara
menolong para remaja. Setelah itu ia mempraktekkan dan menulis pengalaman dan
ide nya tersebut dalam sebuah buku yaitu “Scouting
for boys”. Yang tak disangka-sangka gagasan dan ide Baden Powell tersebut
menimbulkan suatu gerakan yang meliputi anak-anak dan pemuda seluruh dunia,
yaitu Gerakan Kepanduan.
Gerakan Kepanduan
berkembang pesat, hingga pada tahun 1912 Baden Powell (BP) mengadakan
perjalanan keliling dunia untuk menemui para pandu di berbagai dunia. Ini
adalah permulaan kepanduan sebagai persaudaraan sedunia. Hingga pada tahun 1912
kepanduan pun berdiri di Indonesia, oleh P.V Smits dan Mayor De Yager di
Jakarta yang merupakan cabang Nederland
Padvinders Organisatie (NPO) di Belanda. Pada tanggal 14 September 1914
cabang NPO di Indonesia menjadi organisasi baru yaitu “Nederland Indische Padvinders Vereeninging” (NIPV).[2]
Para pemuda Indonesia mulai tertarik
pada organisasi tersebut, mereka menilai bahwa organisasi kepanduan untuk
pribumi merupakan alat yang ampuh bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Namun organisasi NPO ini hanya memperbolehkan remaja dan pemuda tertentu saja
dan terbatas menjadi anggota NIPV, sesuai dengan “ethische koer” dalam politik
colonial Belanda.
Pada tahun 1966 para pemimpin-pemimpin
dalam pergerakan nasional mengambil alih gagasan Baden Powell dengan mendirikan
kepanduan nasional pertama kali yaitu Javaase Padvinders Organisatie (JPO),
atas prakarsa Sultan Pangeran Mangkunegara VII di Surakarta. Pendirian JPO ini
memunculkan beridirinya organisasi kepanduan lainnya yang merupakan bagian dari
suatu perkumpulan, seperti pada tahun 1918 lahir Padvinders Muhammadiyah, dan
pada tahun 1920 diberi nama Hizbul Wathon (HW), tahun 1921 Boedi Oetomo
membentuk Nasionale Padvinderij. Pada tahun yang sama Jong Java cabang
Mataram/Yogyakarta mendirikan Jong Java Padvinderij dan lain sebagainya.
Perkembangan NIPV dalam usaha koordinasi
dan kerjasama untuk mempersatukan organisasi-organisasi kepanduan di Indonesia
tidak dapat diterima pihak kepanduan nasional Indonesia, sehingga penggunaan
istilah Padvinders dan padvinderij atas prakarsa H. Agus Salim
diganti menjadi kata “pandu dan kepanduan”.[3] Pada
tanggal 23 Mei 1928 dibentuk Federasi Kepanduan Nasional Indonesia dengan nama
persatuan Antar Pandu-Pandu Indonesia (PAPI). Diantara pemimpin pandu Indonesia
tersebut terdapat Mr. Soemarjo dan dr. Halim dari NIPO, dr. Moewardi dari
JJP/PK, Arudji Kartawinata dan Ramelan dari SIAP, Mr. Moh. Roem dari Nativij.
Sedangkan perkembangan Kepanduan Putri yang besar jasanya dalam merintis
Gerakan Kepanduan Putri adalah Ibu soetji soemarni, Ibu Soejandari dan
lain-lain.
Sumpah pemuda yang dicetuskan oleh
kongres pemuda kedua pada tanggal 28 Oktober 1928, benar-benar menjiwai Gerakan
Kepanduan nasional Indonesia untuk bergerak lebih maju dalam rangka konsolidasi
kekuatan nasional. Maka pada tanggal 15 Desember 1929 PAPI mengadakan pertemuan
di Jakarta, dalam pertemuan tiu Pandu Kebangsaan (PK) mengusulkan adanya
peleburan semua organisasi Kepanduan Indonesia menjadi satu Organisasi
Kepanduan Indonesia. Namun usul itu tidak mendapat keputusan yang bulat dari
Kepanduan yang berbeda asasnya. Tetapi walau begitu Indonesische Padvinderij
Organisatie (INPO), Pandu Kebangsaan dan Pandu Pemuda Sumatera (PPS) sepakat
melebur menjadi satu kepanduan yaitu Kepanduan Bangsa Indonesia.
Pada waktu pendudukan jepang (Perang
Dunia II), organisasi kepanduan dilarang adanya. Tokoh-tokoh kepanduan banyak
yang masuk dalam organisasi sienendan, Keibodan, dan Pembelah Tanah Air (PETA).
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 28 Desember 1945 barulah
dibentuk organisasi kepanduan yaitu Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya
organisasi kepanduan di wilayah Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan di alam
liberal, terbukalah kesempatan pada siapapun untuk membentuk
organisasi-organisasi kepanduan. Berdirilah kembali SIAP, Pandu Islam
Indonesia, Pandu Kristen, Pandu Khatolik, KBI dan lian-lain. Menjelang
tahun1961 kepanduan Indonesia telah terpecah-pecah lebih dari 100 organisasi
kepanduan, suatu keadaan yang sangat lemah, meskipun sebagian organisasi itu
telah terhimpun dalam satu federasi organisasi-organisasi kepanduan putera
yaitu Ikatan Pandu Indonesia (Ipindo) dan dua federasi organisasi kepanduan
puteri yaitu Persatuan organisasi Pandu Puteri Indonesia (POPINDO) dan
Perserikatan Kepanduan Puteri Indonesia (PKPI).
Mengalami kelemahan seperti itu, ketiga
federasi tersebut melebur menjadi satu dengan nama Persatuan kepanduan
Indonesia (Perkindo). Walaupun begitu hanya kira-kira 60 organisasi saja
dari100 buah lebih organisasi yang tergabung dalam Perkindo, terutama yang ada
dibawah Onderbouw organisasi politik, massa, tetap berhadap-hadapan, berlawanan
satu sama lain, sehingga tetap terasa lemahnya gerakan Kepanduan.
Perkindo membentuk suatu panitia untuk
memikirkan solusi dari permasalahan yang ada. Sehingga kesimpulan yang di dapat
adalah selain lemah, terpecah-pecah, kepanduan Indonesia juga terpaku pada gaya
lama yang tradisionil dari pada kepanduan Inggris, juga lebih cenderung berbau
Baden Powelisme.
System pendidikan kepanduan hasil
gagasan Baden Powell memang dapat diterang kepada anak-anak dan pemuda
Indonesia, namun harus diakui Prinsip Metodik Pendidikan Kepramukaan (the scout
method) semula hanya diambil dari Scouting For Boys adalah khas inggris.
Selanjutnya ketentuannya mengalami perubahan sesudah diambil alih oleh World Scout Conference dan World Scout Bureau yang bersifat
internasional dan global dan bersumber dari Contitution
by Law. Tetapi dilihat dari segi kepentingan untuk dijadikan sarana
pengikat dan mempersatukan seluruh organisasi kepanduan, ternyata tidak
memadai. Sistem pendidikan kepanduan di Indonesia harus bersifat nasional dan
harus berkepribadian Indonesia. Bersifat nasional adalah pelaksanaan pendidikan
kepanduan harus disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan
bangsa Indonesia.
Kelemahan kepanduan Indonesia itu mau
dipergunakan oleh pihak komunis untuk memaksa Gerakan Kepanduan di Indonesia
menjadi gerakan pionir muda seperti yang terdapat pada negar-negara komunis.
Akan tetapi hal itu diimbangi oleh mereka yang setia kepada kepanduan. Akhirnya
berdasarkan laporan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dr. Andi Aziz kepada
Presiden Soekarno bahwa 60 organisasi kepanduan di Indonesia setuju
dipersatukan dalam suatu wadah dengan nama Gerakan Pramuka, hal itu dilakukan
pada 19 Maret 1961. Pada waktu Presiden ke luar negeri (Jepang) konsep
keputusan dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka telah
selesai, sehingga hal itu di tanda tangani oleh pejabat Presiden Ir. Juanda
pada tanggal 20 Mei 1961 yang dituangkan dalam koppres. Nomor 238 tahun 1961.
Keputusan tersebut berbunyi : “Bahwa Gerakan Pramuka adalah satu-satunya
organisasi yang ditugaskan menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak
dan pemuda Indonesia. Organisasi-organisasi lain yang sama sifatnya atau
menyerupai dilarang adanya.”[4]
Sesuai dengan Anggaran Dasar, gerakan
Pramuka bertujuan mendidik anak-anak dan pemuda Indonesia dengan prinsip dasar
dan metode kepramukaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan dan
perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini membuat Gerakan Pramuka
semakin mendapat tanggapan dari masyarakat luas, sehingga dalam waktu yang
singkat organisasi pramuka telah berkembang dari kota sampai ke desa-desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar