Minggu, 18 Januari 2015

SEJARAH PRAMUKA DI INDONESIA


Sejarah singkat lahirnya Gerakan Pramuka Indonesia
Lahirnya Gerakan Pramuka berawal dari keinginan seorang pahlawan Inggris,  Robert Stephenson Smyth Baden Powell yang tergerak hatinya untuk memperbaiki dan mendidik para remaja bangsa Inggris yang sering melakukan tindakan kriminal, mabuk-mabukan, berjudi, vandalisme dan berpoya-poya, akibat adanya revolusi industri yang terjadi pada abad XIX dan awal abad XX.[1]
Untuk melaksanakan niatnya, selama lebih kurang tiga tahun ia mulai banyak memberikan perhatian terhadap bagaimana cara menolong para remaja. Setelah itu ia mempraktekkan dan menulis pengalaman dan ide nya tersebut dalam sebuah buku yaitu “Scouting for boys”. Yang tak disangka-sangka gagasan dan ide Baden Powell tersebut menimbulkan suatu gerakan yang meliputi anak-anak dan pemuda seluruh dunia, yaitu Gerakan Kepanduan.
Gerakan Kepanduan berkembang pesat, hingga pada tahun 1912 Baden Powell (BP) mengadakan perjalanan keliling dunia untuk menemui para pandu di berbagai dunia. Ini adalah permulaan kepanduan sebagai persaudaraan sedunia. Hingga pada tahun 1912 kepanduan pun berdiri di Indonesia, oleh P.V Smits dan Mayor De Yager di Jakarta yang merupakan cabang Nederland Padvinders Organisatie (NPO) di Belanda. Pada tanggal 14 September 1914 cabang NPO di Indonesia menjadi organisasi baru yaitu “Nederland Indische Padvinders Vereeninging” (NIPV).[2]

Para pemuda Indonesia mulai tertarik pada organisasi tersebut, mereka menilai bahwa organisasi kepanduan untuk pribumi merupakan alat yang ampuh bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun organisasi NPO ini hanya memperbolehkan remaja dan pemuda tertentu saja dan terbatas menjadi anggota NIPV, sesuai dengan “ethische koer” dalam politik colonial Belanda.
Pada tahun 1966 para pemimpin-pemimpin dalam pergerakan nasional mengambil alih gagasan Baden Powell dengan mendirikan kepanduan nasional pertama kali yaitu Javaase Padvinders Organisatie (JPO), atas prakarsa Sultan Pangeran Mangkunegara VII di Surakarta. Pendirian JPO ini memunculkan beridirinya organisasi kepanduan lainnya yang merupakan bagian dari suatu perkumpulan, seperti pada tahun 1918 lahir Padvinders Muhammadiyah, dan pada tahun 1920 diberi nama Hizbul Wathon (HW), tahun 1921 Boedi Oetomo membentuk Nasionale Padvinderij. Pada tahun yang sama Jong Java cabang Mataram/Yogyakarta mendirikan Jong Java Padvinderij dan lain sebagainya.
Perkembangan NIPV dalam usaha koordinasi dan kerjasama untuk mempersatukan organisasi-organisasi kepanduan di Indonesia tidak dapat diterima pihak kepanduan nasional Indonesia, sehingga penggunaan istilah Padvinders dan  padvinderij atas prakarsa H. Agus Salim diganti menjadi kata “pandu dan kepanduan”.[3] Pada tanggal 23 Mei 1928 dibentuk Federasi Kepanduan Nasional Indonesia dengan nama persatuan Antar Pandu-Pandu Indonesia (PAPI). Diantara pemimpin pandu Indonesia tersebut terdapat Mr. Soemarjo dan dr. Halim dari NIPO, dr. Moewardi dari JJP/PK, Arudji Kartawinata dan Ramelan dari SIAP, Mr. Moh. Roem dari Nativij. Sedangkan perkembangan Kepanduan Putri yang besar jasanya dalam merintis Gerakan Kepanduan Putri adalah Ibu soetji soemarni, Ibu Soejandari dan lain-lain.
Sumpah pemuda yang dicetuskan oleh kongres pemuda kedua pada tanggal 28 Oktober 1928, benar-benar menjiwai Gerakan Kepanduan nasional Indonesia untuk bergerak lebih maju dalam rangka konsolidasi kekuatan nasional. Maka pada tanggal 15 Desember 1929 PAPI mengadakan pertemuan di Jakarta, dalam pertemuan tiu Pandu Kebangsaan (PK) mengusulkan adanya peleburan semua organisasi Kepanduan Indonesia menjadi satu Organisasi Kepanduan Indonesia. Namun usul itu tidak mendapat keputusan yang bulat dari Kepanduan yang berbeda asasnya. Tetapi walau begitu Indonesische Padvinderij Organisatie (INPO), Pandu Kebangsaan dan Pandu Pemuda Sumatera (PPS) sepakat melebur menjadi satu kepanduan yaitu Kepanduan Bangsa Indonesia.
Pada waktu pendudukan jepang (Perang Dunia II), organisasi kepanduan dilarang adanya. Tokoh-tokoh kepanduan banyak yang masuk dalam organisasi sienendan, Keibodan, dan Pembelah Tanah Air (PETA). Sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 28 Desember 1945 barulah dibentuk organisasi kepanduan yaitu Pandu Rakyat Indonesia sebagai satu-satunya organisasi kepanduan di wilayah Indonesia.
Setelah pengakuan kedaulatan di alam liberal, terbukalah kesempatan pada siapapun untuk membentuk organisasi-organisasi kepanduan. Berdirilah kembali SIAP, Pandu Islam Indonesia, Pandu Kristen, Pandu Khatolik, KBI dan lian-lain. Menjelang tahun1961 kepanduan Indonesia telah terpecah-pecah lebih dari 100 organisasi kepanduan, suatu keadaan yang sangat lemah, meskipun sebagian organisasi itu telah terhimpun dalam satu federasi organisasi-organisasi kepanduan putera yaitu Ikatan Pandu Indonesia (Ipindo) dan dua federasi organisasi kepanduan puteri yaitu Persatuan organisasi Pandu Puteri Indonesia (POPINDO) dan Perserikatan Kepanduan Puteri Indonesia (PKPI).
Mengalami kelemahan seperti itu, ketiga federasi tersebut melebur menjadi satu dengan nama Persatuan kepanduan Indonesia (Perkindo). Walaupun begitu hanya kira-kira 60 organisasi saja dari100 buah lebih organisasi yang tergabung dalam Perkindo, terutama yang ada dibawah Onderbouw organisasi politik, massa, tetap berhadap-hadapan, berlawanan satu sama lain, sehingga tetap terasa lemahnya gerakan Kepanduan.
Perkindo membentuk suatu panitia untuk memikirkan solusi dari permasalahan yang ada. Sehingga kesimpulan yang di dapat adalah selain lemah, terpecah-pecah, kepanduan Indonesia juga terpaku pada gaya lama yang tradisionil dari pada kepanduan Inggris, juga lebih cenderung berbau Baden Powelisme.
System pendidikan kepanduan hasil gagasan Baden Powell memang dapat diterang kepada anak-anak dan pemuda Indonesia, namun harus diakui Prinsip Metodik Pendidikan Kepramukaan (the scout method) semula hanya diambil dari Scouting For Boys adalah khas inggris. Selanjutnya ketentuannya mengalami perubahan sesudah diambil alih oleh World Scout Conference dan World Scout Bureau yang bersifat internasional dan global dan bersumber dari Contitution by Law. Tetapi dilihat dari segi kepentingan untuk dijadikan sarana pengikat dan mempersatukan seluruh organisasi kepanduan, ternyata tidak memadai. Sistem pendidikan kepanduan di Indonesia harus bersifat nasional dan harus berkepribadian Indonesia. Bersifat nasional adalah pelaksanaan pendidikan kepanduan harus disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Kelemahan kepanduan Indonesia itu mau dipergunakan oleh pihak komunis untuk memaksa Gerakan Kepanduan di Indonesia menjadi gerakan pionir muda seperti yang terdapat pada negar-negara komunis. Akan tetapi hal itu diimbangi oleh mereka yang setia kepada kepanduan. Akhirnya berdasarkan laporan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dr. Andi Aziz kepada Presiden Soekarno bahwa 60 organisasi kepanduan di Indonesia setuju dipersatukan dalam suatu wadah dengan nama Gerakan Pramuka, hal itu dilakukan pada 19 Maret 1961. Pada waktu Presiden ke luar negeri (Jepang) konsep keputusan dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Gerakan Pramuka telah selesai, sehingga hal itu di tanda tangani oleh pejabat Presiden Ir. Juanda pada tanggal 20 Mei 1961 yang dituangkan dalam koppres. Nomor 238 tahun 1961. Keputusan tersebut berbunyi : “Bahwa Gerakan Pramuka adalah satu-satunya organisasi yang ditugaskan menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak dan pemuda Indonesia. Organisasi-organisasi lain yang sama sifatnya atau menyerupai dilarang adanya.”[4]
Sesuai dengan Anggaran Dasar, gerakan Pramuka bertujuan mendidik anak-anak dan pemuda Indonesia dengan prinsip dasar dan metode kepramukaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan kepentingan dan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal ini membuat Gerakan Pramuka semakin mendapat tanggapan dari masyarakat luas, sehingga dalam waktu yang singkat organisasi pramuka telah berkembang dari kota sampai ke desa-desa.



[1] Baden Powell, Penolong Pembina Penggalang, (Bandung : Aku Suka, 2002),  hlm. 50
[2] Andy Usman, Sekilas Mengenal Kepanduan/Kepramukaan di Indonesia dan Kwartir Daerah Gerakan Pramuka Kalimantan Barat, (Pontianak : Lemdikada, 2003), hlm. 6
[3] Ibid, hlm 6-7
[4] Op. Cit. Andy Usman,. hlm. 37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar